Akbar versi 2,0
Judul Buku : Dumba-Dumba Gleter
Penulis : Arham_Kendari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
2010
Ini cerita tentang Akbar yang lain, bukan Akbar temen kantor gue.
Akbar yang ini belum terlalu lama gue kenal, kira-kira baru sebulan belakangan. Beberapa waktu yang lalu gue diminta oleh anak-anak kampus untuk jadi pembimbingnya dibidang karikatur dalam Kompetisi Seni Mahasiswa Tingkat Nasional di Jambi.
Kompetisi serupa pernah dua kali gue ikuti. Mungkin atas pertimbangan itu, gue yang dikomendasikan untuk menjadi semacam instruktur, membimbing dan berbagi pengalaman ama si Akbar, walaupun gue udah lama gak ada hubungan ama kampus.
“Yah, bolehlah,” ujar gue sedikit jaim, menanggapi penawaran tersebut.
Kata “boleh” menurut gue kesannya gak terlalu antusias, dibandingkan “iya”. Padahal dalam hati gue girang banget, secara akan liburan gratis di luar kota. Hehehe.
Tiga kali dalam seminggu sisihkan waktu jam istrahat sore gue untuk ngumpul bareng anak-anak kampus di secretariat Unit Kegiatan Seni untuk latihan bersama. Ada yang latihan nyanyi, nari, teater, dan lain-lain. Sementara gue ama si Akbar mojok, sharing soal karikatur dan kadang-kadang eksibisi menggambar bersama.
Sebenarnya, kalo mau jujur, si Akbar ini bisa dibilang masih lemah pada ide, dan sedikit mentah dalam hal teknis, walaupun emang dasarnya udah ada. Well, no problem lah. Toh talenta bisa diasah. Lagian gue pikir, gue juga dulu saat seusia dia dan terbilang baru belajar, kayaknya gak jauh lebih baik.
Ada satu hal yang bisa jadi nila plus dari si Akbar ini. Dia punya semangat yang menggebu-gebu. Mungkin itu yang bikin gue gak butuh kerja keras untuk mengarahkannya. Bahkan ketika semingguan gue tinggalkan karena kesibukan, pada minggu berikutnya perkembangannya udah melaju begitu pesat. Sebagai pembimbing, manusiawi jika gue sempat keder dan kuatir kalo gue malah bakal jadi saingannya. Hehehe….
Jujur, jarang gue temui orang yang gigih seperti ni anak. Gak segan dia nelepon untuk sekedar bertanya hal-hal kecil yang kadang menurut gue gak begitu penting untuk ditanyakan.
Hingga akhirnya sebuah insiden tragis mematahkan semangat gue. Terjadi kerusuhan dikampus berujung tawuran panjang. Ini satu lagi peristiwa memalukan yang kerap menjadi citra buruk gak hanya bagi kampus, tapi juga daerah gue. Di media-media massa, termasuk Koran tempat gue kerja, beritanya di-blow up besar-besaran. Akbar jadi salah satu korban kerusuhan itu. Dan gue gak bakal tau kabarnya andai gue gak ngeliat berita di Koran gue sendiri.
Akbar masuk ruang UGD. Sebatang anak panah dari besi terali sepeda melekat tepat di jidatnya, diantara dua mata, nyaris kena mata kiri. Lumayan serem dan disturbing untuk diliat. Saksi mata, saat tersungkur jatuh terkena panah itu dia masih sempat bangkit dan menyelamatkan diri naik ojek. Miris gue mendengarnya.
Saat gue jenguk di rumah sakit, kepalanya masih berbalut perban, baru aja selesai dioperasi. Dia mencoba bangkit duduk, tapi gemetaran. Cara ngomongnya pun masih terbata-bata.
“Sudahlah, Dek … gak usah dipaksa. Kamu istirahat saja dulu!” ujar gue.
Prihatin. Itu yang ada di benak gue saat pertama ngeliatnya. Melototin hasil rontgen rasanya gak masuk akal dan kayak mukjizat aja anak ini bisa selamat.
Tapi di balik itu gue juga gak bisa nutupi perasaan kalo gue kecewa, karena ini terjadi pada detik-detik keberangkatan kami berkompetisi di Jambi. Apalagi setelah operasi, penglihatan si Akbar jadi rabun. Gak bisa berharap banyak.
Melihat kondisinya yang payah kayak gitu, sementara hari H tersisa beberapa hari lagi, gue serta merta memutuskan mundur. Gue menghadap ke panitia dan di depan anak-anak kampus dengan berat hati gue mengutarakan niat membatalkan keberangkatan. Gue minta nama gue dicoret dari daftar nama pembimbing yang akan turut serta. Tanpa gue minta pun yakin anak-anak kampus bisa memaklumi itu.
Tapi di luar dugaan, belakangan gue dikabari si Akbar keras kepala. Tu anak ngotot tetap akan berangkat, ada ataupun tanpa gue. Katanya dia ingin ngembaliin nama baik kampus yang udah telanjur tercoreng oleh peristiwa ini dengan prestasi.
Gue hargai kemuliaan niatnya. Tapi yah mau gimana lagi nama gue telanjur dicoret. Tiket pesawat yang sebenarnya milik gue sudah berganti nama orang lain. Sebenarnya sih bisa diatur, tapi gak apa-apalah, piker gue. Lagi pula butuh birokrasi yang panjang soal perizinan di kantor andai gue maksain diri untuk ikut.
Pada akhirnya gue hanya bisa menjabat erat tangan Akbar, menepuk-nepuk pundaknya, member spirit ala kadarnya di sore hari menjelang kebeerangkatan itu. Kondisinya udah agak baikan, walaupun bekas lukanya gue liat masih belum sembuh total, dan ditutupinya dengan scraft dan kacamata hitam.
Di mata gue, anak itu gak ubahnya seorang prajurit Spartan terluka yang menuju medan perang dengan hanya bermodalkan semangat baja, tanpa ambil pusing mau menang atau kalah secara konyol.
Tiga hari berlalu tanpa kabar dari Akbar dab anak-anak kampus. Sampai akhirnya semalam, gak sadar gue dibuat berkaca-kaca. Saat gue ngumpul bareng teman-teman, si Akbar menelepon dari Jambi. Gak banyak yang bisa diucapkannya.
“Terima kasih untuk semuanya, Bang! Saya juara satu!” ujarnya lirih. Gue menangkap suara tangis tertahan di seberang sana. Disambut sayup gemuruh soraksorai kawan-kawannya. Gak terbilang perasaan gue. Bangga tapi juga malu.
Bangga, karena anak bimbingan gue ternyata mengulang prestasi yang pernah gue raih berapa tahun silam. Malu, karena dia juga seperti menampar gue dengan satu pelajaran moral:
“Gak ada istilah kalah sebelum mencoba, karena putus asa hanya ada pada kamus para pecundang”.
Penulis : Arham_Kendari
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
2010
Ini cerita tentang Akbar yang lain, bukan Akbar temen kantor gue.
Akbar yang ini belum terlalu lama gue kenal, kira-kira baru sebulan belakangan. Beberapa waktu yang lalu gue diminta oleh anak-anak kampus untuk jadi pembimbingnya dibidang karikatur dalam Kompetisi Seni Mahasiswa Tingkat Nasional di Jambi.
Kompetisi serupa pernah dua kali gue ikuti. Mungkin atas pertimbangan itu, gue yang dikomendasikan untuk menjadi semacam instruktur, membimbing dan berbagi pengalaman ama si Akbar, walaupun gue udah lama gak ada hubungan ama kampus.
“Yah, bolehlah,” ujar gue sedikit jaim, menanggapi penawaran tersebut.
Kata “boleh” menurut gue kesannya gak terlalu antusias, dibandingkan “iya”. Padahal dalam hati gue girang banget, secara akan liburan gratis di luar kota. Hehehe.
Tiga kali dalam seminggu sisihkan waktu jam istrahat sore gue untuk ngumpul bareng anak-anak kampus di secretariat Unit Kegiatan Seni untuk latihan bersama. Ada yang latihan nyanyi, nari, teater, dan lain-lain. Sementara gue ama si Akbar mojok, sharing soal karikatur dan kadang-kadang eksibisi menggambar bersama.
Sebenarnya, kalo mau jujur, si Akbar ini bisa dibilang masih lemah pada ide, dan sedikit mentah dalam hal teknis, walaupun emang dasarnya udah ada. Well, no problem lah. Toh talenta bisa diasah. Lagian gue pikir, gue juga dulu saat seusia dia dan terbilang baru belajar, kayaknya gak jauh lebih baik.
Ada satu hal yang bisa jadi nila plus dari si Akbar ini. Dia punya semangat yang menggebu-gebu. Mungkin itu yang bikin gue gak butuh kerja keras untuk mengarahkannya. Bahkan ketika semingguan gue tinggalkan karena kesibukan, pada minggu berikutnya perkembangannya udah melaju begitu pesat. Sebagai pembimbing, manusiawi jika gue sempat keder dan kuatir kalo gue malah bakal jadi saingannya. Hehehe….
Jujur, jarang gue temui orang yang gigih seperti ni anak. Gak segan dia nelepon untuk sekedar bertanya hal-hal kecil yang kadang menurut gue gak begitu penting untuk ditanyakan.
Hingga akhirnya sebuah insiden tragis mematahkan semangat gue. Terjadi kerusuhan dikampus berujung tawuran panjang. Ini satu lagi peristiwa memalukan yang kerap menjadi citra buruk gak hanya bagi kampus, tapi juga daerah gue. Di media-media massa, termasuk Koran tempat gue kerja, beritanya di-blow up besar-besaran. Akbar jadi salah satu korban kerusuhan itu. Dan gue gak bakal tau kabarnya andai gue gak ngeliat berita di Koran gue sendiri.
Akbar masuk ruang UGD. Sebatang anak panah dari besi terali sepeda melekat tepat di jidatnya, diantara dua mata, nyaris kena mata kiri. Lumayan serem dan disturbing untuk diliat. Saksi mata, saat tersungkur jatuh terkena panah itu dia masih sempat bangkit dan menyelamatkan diri naik ojek. Miris gue mendengarnya.
Saat gue jenguk di rumah sakit, kepalanya masih berbalut perban, baru aja selesai dioperasi. Dia mencoba bangkit duduk, tapi gemetaran. Cara ngomongnya pun masih terbata-bata.
“Sudahlah, Dek … gak usah dipaksa. Kamu istirahat saja dulu!” ujar gue.
Prihatin. Itu yang ada di benak gue saat pertama ngeliatnya. Melototin hasil rontgen rasanya gak masuk akal dan kayak mukjizat aja anak ini bisa selamat.
Tapi di balik itu gue juga gak bisa nutupi perasaan kalo gue kecewa, karena ini terjadi pada detik-detik keberangkatan kami berkompetisi di Jambi. Apalagi setelah operasi, penglihatan si Akbar jadi rabun. Gak bisa berharap banyak.
Melihat kondisinya yang payah kayak gitu, sementara hari H tersisa beberapa hari lagi, gue serta merta memutuskan mundur. Gue menghadap ke panitia dan di depan anak-anak kampus dengan berat hati gue mengutarakan niat membatalkan keberangkatan. Gue minta nama gue dicoret dari daftar nama pembimbing yang akan turut serta. Tanpa gue minta pun yakin anak-anak kampus bisa memaklumi itu.
Tapi di luar dugaan, belakangan gue dikabari si Akbar keras kepala. Tu anak ngotot tetap akan berangkat, ada ataupun tanpa gue. Katanya dia ingin ngembaliin nama baik kampus yang udah telanjur tercoreng oleh peristiwa ini dengan prestasi.
Gue hargai kemuliaan niatnya. Tapi yah mau gimana lagi nama gue telanjur dicoret. Tiket pesawat yang sebenarnya milik gue sudah berganti nama orang lain. Sebenarnya sih bisa diatur, tapi gak apa-apalah, piker gue. Lagi pula butuh birokrasi yang panjang soal perizinan di kantor andai gue maksain diri untuk ikut.
Pada akhirnya gue hanya bisa menjabat erat tangan Akbar, menepuk-nepuk pundaknya, member spirit ala kadarnya di sore hari menjelang kebeerangkatan itu. Kondisinya udah agak baikan, walaupun bekas lukanya gue liat masih belum sembuh total, dan ditutupinya dengan scraft dan kacamata hitam.
Di mata gue, anak itu gak ubahnya seorang prajurit Spartan terluka yang menuju medan perang dengan hanya bermodalkan semangat baja, tanpa ambil pusing mau menang atau kalah secara konyol.
Tiga hari berlalu tanpa kabar dari Akbar dab anak-anak kampus. Sampai akhirnya semalam, gak sadar gue dibuat berkaca-kaca. Saat gue ngumpul bareng teman-teman, si Akbar menelepon dari Jambi. Gak banyak yang bisa diucapkannya.
“Terima kasih untuk semuanya, Bang! Saya juara satu!” ujarnya lirih. Gue menangkap suara tangis tertahan di seberang sana. Disambut sayup gemuruh soraksorai kawan-kawannya. Gak terbilang perasaan gue. Bangga tapi juga malu.
Bangga, karena anak bimbingan gue ternyata mengulang prestasi yang pernah gue raih berapa tahun silam. Malu, karena dia juga seperti menampar gue dengan satu pelajaran moral:
“Gak ada istilah kalah sebelum mencoba, karena putus asa hanya ada pada kamus para pecundang”.
0 Comments