02 November 2015. Saya punya sebuah kisah yang boleh dibilang kelam ketika dibenangmerahkan dengan kesehatan. Ini kisah nyata yang saya alami. Tahun 2003 saya kena hepatitis A. Waktu itu saya masih di Kalimantan. Wabah hepapatitis A di Kalimantan memang sedang in. Saya pun akhirnya pulang ke Raha biar lebih dekat dan lebih terurus bersama orang tua.


Penyakit ini membuat kita merasa cepat ngos-ngosan, padahal kita tidak sedang bekerja. Membuat kepala pusing, pening, padahal kita tidak sedang memikirkan utang. Membuat kita mual-mual, padahal kita tidak sedang ngidam. Menghilangkan nafsu makan. Ciri fisik lainnya, putihnya mata berubah menjadi kuning, air seni juga menguning, disertai dengan warna tubuh yang juga boleh dibilang kuning. Mungkin ini juga sebab kenapa penyakit ini punya nama keren lain, penyakit kuning.
 


 
Selama perjalanan saya cukup kesulitan. Waktu itu memang saya tidak sendiri. Saya bersama seorang wanita yang akan ke Palopo. Cukup mengurangi stress. Paling tidak, seorang diri mungkin saja akan lebih menyulitkan. Saya, waktu itu, mengangkat apapun sebeanrnya tidak boleh. Tas travel saya benar-benar jadi beban. Tapi, saya tetap berusaha membembengnya. Saya berjuang di mobil yang melaju ke Kota Pelaihari; Kalsel menuju ke Kalimantan Timur. Sebuah perjalanan darat yang mempertaruhkan napas bagi orang sakit seperti saya. Waktu itu, zamannya saya menganggap pesawat adalah sebuah kendaraan lux  golongan menengah atas. Saya sama sekali tidak ada kepikiran untuk naik kapal terbang dari Kalsel ke Kendari. Selain itu, saya juga tidak ingin membebani orang tua dengan biaya.

Setelah darat, saya masih harus menyebrang dengan kapal ke Makassar. Di tengah desakan kapal laut yg sarat penumpang, saya lagi-lagi yakin, Allah tidak meninggalkan saya. Setelah Makassar, saya masih harus ke Buton. Naik kapal besar. Saya teguh ketika harus ganti kapal menuju ke kapal yang lebih kecil ukurannya  begitu merapat di pelabuhan Buton (perahu kayu kecil dengan mesin).

Itu belum selesai. Saya masih harus ganti ke mobil yang akan membawa saya ke lorong rumah saya di Lorong Bahagia; Wamponiki dengan jarak puluhan kilometer dan aspal yang lebih menyerupai batu-batu kasar dengan debu. Kalau mau dipikir-pikir, rasanya saya tidak akan sampai. Tentu saja, scenario hidup saya kali ini pun sama seperti yang lain; Allah Sang sutradara terbaik.

Begitu di Raha.

Rasanya perjalanan panjang saya tidak sia-sia. Saya sampai. Saya bersyukur. Saya langsung rehat seakan selesai melakukan peperangan. Raga saya entah perlu charge tenaga lebih dari yang saya kira.

Keesokan harinya…

Saya dibawah control ke dokter internist (spesialis penyakit dalam); Dr. Nyoman Prayoga. Kadar SGOT dan SGPT (betul gak sih ini, saya lupa, maklum sudah lebih dari 10 tahun lalu) sangat tinggi, melampaui ambang batas.

Saya mengkonsumsi obat pemberiannya dan menuruti segala nasihatnya. Dan lebih kurang 7 bulan saya terbaring tanpa aktivitas motorik yang besar. Saya hanya baring, makan, berwudhu, sholat, lainnya tidak. Saya juga tidak bisa duduk lama. Lelah. Ngos-ngosan. Setiap dari kamar mandi saya langsung berasa seperti habis lari berapa kilo. Beratlah hidup saya waktu itu. Dudukpun tidak sanggup.
Selain itu, perasaan juga harus stabil. Tidak boleh stress. Harus setenang mungkin. Hem, ini juga berat lho dijaga.

Yang tidak kalah berat juga pantangan makanan. Saya harus dan wajib pantang. Saya teguh pendirian disini. Kata dokter kalau mau sembuh harus bertahan. Saya tidak sedikitpun mengkonsumsi gorengan, Lombok, tumisan. Semuanya serba rebus, kukus, dan makanan pokoknya bubur selalu. Seluruh makanan yang dokter larang, saya jauhi.

Hal juga yang mesti diingat adalah, selera makan minim, tetapi perut harus diisi sedikit-sedikit. Saya dulu makan sedikit, tapi sering saya lakukan. Saya menjadwalkan diri sendiri untuk selalu mengisi lambung sedikit, namun sering. Saya juga tidak sedikitpun mengkonsumsi makanan berpengawet.

Enak? Bukan masalah enak tidaknya. Saya bosan sebenarnya makannya ituuuuuuu terus. Tapi saya bertahan untuk sembuh.

Setiap 2 minggu sekali, kadang sebulan sekali saya ke dokter Nyoman untuk check up. Kadar SGOT, SGPT saya masih belum normal. Kadang turun. Eh bulan depannya naik lagi. Bulan depannya turun, bulan kedepannya masih dengan angka yang sama. Tapi, masih belum stabil. Meski demikian, saya tetap bersyukur karena sewaktu pertama periksa, angkanya cukup tinggi. Akhirnya nilai itu perlahan turun meski ambang normal belum juga tersentuh.

Kegiatan saya hanya seperti tadi itu. Untuk nonton TV pun tidak saya lakukan waktu itu. Saya kesulitan berjalan ke TV. Saya hanya tetap mengusahakan untuk konsisten dengan berwudhu dan sholat. Itu saja. Lainnya tidak. Saya berpikir, seandainya saya tidak sholat dan saya mati dalam sakit ini, niscaya siksa tidaklah bisa saya hindari. Jadi, saya teguh dengan sholat. Apalagi, terus terang saja, kondisi saya masih jauh dari garis sehat. Tentu saja, kematian saya rasakan seolah sedang berdiri dihadapan saya.

Saya pun kadang merasa pesimis. Bisa sembuh gak sih? Kok nilainya begini terus? Saya masih ingat waktu itu, setelah beberapa bulan control dokter, nilainya selalu berkisar 100, kadang 144 atau sekitaran itu lah (normalnya katanya kalau gak salah 32/33 yah? Gak pasti juga saya, lupa).

Padahal itu sudah disambi dengan minum ramuan lho. Seperti daun roghontoghe (ini saya sudah eneg saja, rasanya tidak enak bagi saya, tidak pahit sih). Terus katanya tude putih; sejenis kerang laut kecil yang kulit kerangnya berwarna putih. Saya lahap juga makan kalau lagi ada. Tapi … hasilnya masih nihil.

Mungkin saja yang seperti itu tidak cocok untuk saya. Obat kan berdasarkan kecocokan juga. Dan tentu saja kehendak Allah adalah yang utama.

Tahun 2004, entah ide dari mana. Saya mengumpulkan seluruh majalah Nuansa yang kebetulan ada di kamar tempat saya berbaring. Saya membaca seluruhnya. Bahkan surat pembaca yang biasanya saya skip; saya tekuni untuk saya konsumsi. Tetiba saja, saya menemukan edisi yang halaman awalnya adalah surat pembaca. Dan surat itu tentang penyakit hepatitis.

Orang yang mengirim itu, memberi tips tentang obat herbal penyakit hepatitis. Saya tiba-tiba saja merasa, seolah, this is the answer. Feeling saja waktu itu nyaman sekali membaca bagian itu. Saya yakin.

Saya gak begitu ingat resep yang pertama, pokoknya tentang pisang emas kayaknya. Terus ada juga kutu (entah kutu apa). Terus ada juga darah belut (ini kalau perut sudah kembung katanya, tapi ini kalau dalam Islam ada larangan). Dan yang paling menarik dan paling mudah serta memiliki rasa yang enak adalah kelapa muda.

Pohon Kelapa Beserta Buahnya

Saya langsung memberitahu mama saya. Dan entah kenapa, saya merasa seperti melihat sinar terang di kamar yang sudah meredup.

Caranya cukup mudah. Kelapa muda, kedua ujungnya dipotong (sampai pada tempurungnya saja, jangan sampai airnya ada yang keluar. Tempurung harus tetap utuh. (ingat yah, hanya kedua ujung saja).

Setelah itu, pada saat menjelang maghrib dibakar kedua ujung itu. Dibolak-balik selama 15 menit. Jadi ujung yang 1 selama 15 menit, terus yang satunya lagi 15 menit. Jadi total pembakaran adalah 30 menit. Setelah itu, lubangi salah satu ujungnya. Kemudian embunkan di luar rumah semalaman. Pilih tempat yang aman. Kalau saya dulu, karena diluar bayak hewan; tikus, dll, jadi, dibuatkan seperti kayu yang agak tinggi untuk tempat kelapa muda bertengger. Dekat pohon-pohon.

Setelah itu, besok paginya, SEBELUM MENGKONSUMSI APAPUN, ucapkanlah ‘bismillah’ dan minumlah airnya (kalau bisa saring, biar kotoran yang hitam; bekas bakaran tidak ikut). Minumnya sampai habis. Konsumsi setiap pagi selama 14 hari. Berturut-turut yah.

Rasanya enak kok. Saya tidak ingat dengan daging buahnya. Mungkin saya makan juga.

Hari ke-14 kebetulan adalah hari yang sama dengan kunjungan  saya ke dokter.

Begitu dites darah, Dokter Nyoman langsung berucap: “Pak, bulan depan tidak usah mi dibawa anaknya. Sudah normal darahnya.”

Senangnya rasanya. Saya seperti tidak percaya. Soalnya selain saya merasa belum bugar, sakit dengan jangka waktu lama, hampir berada disisi kemustahilan untuk sembuh. Bayangkan, lebih kurang 7 bulan terbaring. Saya masih loyo dan masih lemas. Mungkin kelamaan saya makan sedikit.

Dokter hanya memberi saya vitamin. Dan menyarankan untuk tidak cape dulu. Masih harus istrahat. Dan makannya juga diperbaiki. Sering-sering makan. Saya bahkan selalu membawa GABIN untuk saya icip sesering mungkin. Lombok juga saya hindari jauh-jauh.

Jadi? Terkadang obat itu ada kok disekitar kita. Murah lagi. Bayangkan selama 7 bulan saya mengkonsumsi obat dokter yang khasiatnya kalah dengan kelapa muda yang bekerja 2 minggu. Oh ya, tapi perlu diingat. Saya tetap mengkonsumsi obat dokter lho. Jadi, obat dokter tidak saya tinggalkan. Bagaimanapun juga mereka saling melengkapi.

Saya patut bersyukur memiliki mama yang selalu menyempatkan waktu membuatkan saya makanan sebelum dia berangkat ke sekolah. Dan ditengah lelahnya di sore hari, dia masih semangat membakar kelapa muda untuk saya. Alhamdulillah. Allah menyembuhkan saya.

14 Comments

  1. Wah lama banget ya sampe 7 bulan terbaring sakitnya. Dulu suami saya pas masih pacaran jg pernah sakit kuning trus minumin parutan temulawak terus menerus. Alhamdulillah ga sampe sebulan sembuh.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, mungkin juga Allah mau menguji saya mbak ... oh ya, temulawak juga obatnya.
      trimakasih atas sharingnya

      Delete
  2. Alhamdulillah, akhirnya penyakitnya bisa dikalahkan yah mbak :)

    ReplyDelete
  3. Assalaamu'alaikum, salam kenal mbak :)

    Membacanya serasa ikut berjuang ...Masya Allah, mba diberi kekuatan menempuh perjalanan yg tidak ringan, dlm kondisi sakit, berganti beberapa kali kendaraan, nyebrang laut, ganti kapal, ...

    .. alhamdulilah mba sdh sehat. Terimakasih sharingnya, bermanfaat.

    Kelapa muda khasiatnya luar biasa (tambah lagi tahunya niy, bisa utk mengatasi hepatitis)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, itu semua juga dengan kehendak Allah. Saya bersyukur bias berjuang.
      Betul mbak, kelapa muda seribu manfaat

      Delete
  4. Wah, suami saya juga pernah kena hepatitis. Opname di rumah sakit sampe dua minggu. Kemudian harus minum berbotol-botol jamu temulawak @_@

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya, kadang sebuah penyakit obatnya beragam. Tinggal kuat nda kita konsumsi. Dan mau tidak kita berjuang... Trimakasih dah berkunjung

      Delete
  5. Alhamdulilah naya berbekal kelapa Muda bisa sembuh.
    Kandungan antioksidan Kelapa Muda memang tak diragukan.
    Semangat Mbak!!!

    #HappyBlogging

    ReplyDelete
    Replies
    1. Betul mbak ... memang dia menjernihkan yang keruh (racun)
      trimakasih dah mampir

      Delete
  6. Perjuangan yang panjang mencapai kesembuhan yang maksimal ya mbaaa :)

    ReplyDelete