Saya Suka DAMRI
03 Agustus 2015. Menjelang siang
tadi, kebetulan ada surat undangan yang harus saya ambil di Kantor Kemenag
Kabupaten Muna. Jadi, saya pulang awal. Sekitar jam 11.30 saya sudah menunggu
mobil. Rencananya sih mau naik mobil DAMRI yang kebetulan rute Kendari Raha
melewati Madrasah saya dan lorong rumah saya. Pas lah kalau saya naik DAMRI.
Kalau naik mobil angkot Tampo-Raha,
saya harus turun di belokan SMP 2 Raha. Masih sekitar 1 km dari rumah. Jauh
juga khan? Biasanya kalau naik mobil angkot, saya masih harus menelpon di
rumah, minta tolong dijemput. Bapak saya yang suka datang jemput. Saya gak tega
sih, mana lagi dia sudah tua, mengidap penyakit jantung pula. Ah, saya memang
harus belajar motor. Suka tidak suka, mau tidak mau HARUS!
Sebenarnya bisa sih minta jemput
suami tapi … dia lagi kerja. Dia berkebun. Di Bonea. Jadi, tetap saja tidak
bisa. Hem ...
Sambil menunggu DAMRI, tentu saja
banyak hal yang saya lihat, perhatikan, cermati, dan lain-lain. Anak SD pulang
sekolah. Mereka melewati tempat saya duduk menunggu DAMRI. Di atas akar sebuah
pohon rindang di samping jalan. Kebetulan akar pohon itu keluar dari tanah. Kulit
akarnya mengeras seperti layaknya kulit batangnya. Duduk diatasnya, rasanya nyaman, sejuk pula karena rindang daunnya. Jadi gak kena lah sinar mentari siang.
Anak SD yang lewat lumayan banyak. Beberapa
diantaranya menenteng jualan; es yang dibawa menggunakan termos, dan ubi goreng
yang ditempatkan di wadah plastic transparan. Sekilas terlihat isinya masih ada
setengah. Saya berniat beli, tapi urung, kuatir mobil DAMRI nya cepat datang. Kan
gak mungkin saya masih proses membeli, eh, mobil DAMRI lewat, tak mungkinlah
saya suruh tunggu dulu.
Saya sempat menangkap percakapan
antara seorang anak laki-laki SD dengan teman perempuannya yang kebetulan
berjualan ubi goreng tadi.
ANAK LK: dimana lagi ko mo jual itu? (dimana
mau dijual lagi ubi itu?). Di …. (saya tidak sempat mendengar utuh nama tempat
yang disebutnya. Namun saya sangat yakin dia menyebut nama suatu tempat.
Anak perempuan itu mengisyaratkan ‘iya’
dengan penuh semangat sambil berjalan bersama teman-temannya itu.
Jam 12.20 an lewatlah sebuah DAMRI. Saya
menyetop. Ah, terlihat dia tetap melaju, dan nampak memang kalau DAMRInya
penuh. DAMRI kedua yang saya stop juga berlaku sama. Saya tetap menunggu dan
tak lama, DAMRI ke-3 muncul ketika jam menunjuk 12.29. saya melambai. DAMRI
melambat. Kondekturnya menanyakan tujuan saya. Sambil berlari saya menjawab; “RAHA”.
Saya naik.
Akhirnya, ini pengalaman saya yang
ke-3. Saya duduk di bangku paling belakang. Bayarannya tidak mereka patok lho. Saya hanya kasih saja. Tadi saya kasih sesuai tarif angkot Lambiku Raha; Rp. 15.000,-. Sebagai kesan, saya suka naik
DAMRI. Saya suka, saya suka, saya suka.
Apa ceritamu hari ini?
4 Comments
Saya juga suka naik damri, waktu kuliah dulu di jatinangor pasti naik damri :)
ReplyDeleteSamaan yah ..hehe,
ReplyDelete:)
saya juga suka mbak naik Damri :D
ReplyDelete:)
ReplyDeleteBanyak ternyata yg sama
:)