27 November 2017

Sore tadi, Hafshoh bermain depan kios. Pengunjung kios sebelah sedang ramai. Motor lalu lalang. Saya kuatir.

"Hafshoh sudah dulu mainnya. Itu bahaya, banyak motor." Ucapku.

"Dia menurut tetapi menolak. Saya ingin main Umi, dengan temanku." Belanya.

Didepan mata kami, tampak teman-temannya berlarian. Tertawa. Berseru ria. Semakin cemburulah dia. Muka mulai ditekuk, kemarahan mulai nampak di wajahnya. Kaki sudah dibanting beberapa kali.

"Boleh Nak Hafshoh main, tetapi kalau mainnya ada bahaya, orang tua harus larang. Itu ada motor datang tiba-tiba. Tadi Hafshoh tabrak orang toh? Karna di sebelah rame. Tapi, Hafshoh hebat, Hafshoh minta maaf." Belaku balik.

Saya membawanya ke kamar. Mengajaknya main ini, itu, begini, begitu, yang semuanya ditolak dengan bonus tangisan pemberontakan.

Dia lalu memberi jalan keluar, "Umi, kita main seperti mainnya temanku pale, sa mau."

Saya agak ragu meyakinkan sebenarnya, soalnya mainnya tadi main polisi-polisi. Kejar-kejaran. Aduh, gawat.

"Main apa Nak?" Ucapku penuh keraguan dan berharap pikiranku salah.

"Main kejar-kejar. Umi kejar saya." Selorohnya yakin.

"Disini?" Kataku menunjuk tempat yang sempit.

Dia mengangguk mantap, saya kehilangan ion.

Untuk memenuhi inginnya, saya akhirnya setuju.

Mulailah saya mengejarnya di kamar berukuran 4 x 4, dan ke ruang depan (baca kios) berukuran semeter atau dua meter lebih luas sedikit.

Dia terbahak, saya entahlah.

Hehehe, sakit juga perutku sa rasa lucu ini kejar-kejar dia. Dia a hundred percent SERONOK. Terbahak dan entahlah.

Menjadi Ibu kadang menjadi heran.

Hehehehe

0 Comments