Hujan dan Hafshoh

Pagi itu, saya mengajar di Aliyah. Tepatnya di kelas X. Siswa saya sedang mengerjakan tugas. Saya duduk mengamati di kursi guru.

Sejurus kemudian, saya memandang ke luar kelas. Mata saya berujung pada langit yang warna gelapnya seolah virus. Warna abu mulai menyebar.

Sekitar 2 jam kemudian, hujan mengguyur madrasah. Langit diseluruh penjuru masih mengabu.

Saya menampaki Hafshoh di gedung sebelah. Dia bermain kapal-kapalan dengan binar.

Buat Hafshoh, hujan adalah keriangan yang ingin dirasakannya. Dia ingin hujan tepat mengenai tubuhnya.

Cukup lama, ternyata Hafshoh masih asyik. Seolah tidak ingin diganggu.

Kini, dia menadah air di bekas aqua gelas. Kakak-kakak di Mts Lambiku, memudahkannya. Mereka membuatkan aqua bekas dengan tali di kedua pinggirnya. Sehingga seolah Hafshoh sedang menimba air.

Dari jauh, saya memberinya kode. Agar dirinya tak basah. Dia mengangguk sambil meminggirkan dirinya terlindungi dengan atap madrasah.

Basah sekarang, maka dia bisa kedinginan ketika pulang. Yah... ada masa ketika dia harus dibatasi.

Di kali lain, saya memberinya kesempatan membersamai hujan. Riangnya, nampak lebih jelas. Tawanya seolah tak ingin tertutup.

Hujan, adalah permainan yang tidak bisa dirasakannya setiap saat. Ketika bertemu hujan, dia begitu cemerlang dan ingin memanfaatkan bonding itu dengan maksimal.

Seminggu kemudian, kami membelikannya baju pelampung. Pelampung menjadi alat bantunya belajar berenang di Topa. Topa; sebuah permandian alam yang berdampingan dengan rumah nenek Hafshoh.

Hari minggu, kala itu, bertepatan dengan hujan. Belajar berenang bersama hujan, membuatnya terbahak. Dia bahkan berkisah; "Umi, tadi saya berenang sambil begini, tadah hujan." Ucapnya tersenyum sambil menengadahkan wajah keatas dengan mulut terbuka.

"Jadi, Hafshoh telan air hujannya?" Tanyaku.

Dia mengiya. Masih dengan tawanya.

"Kau menyenangi hujan Nak?"

0 Comments