Pendidikan dari Garis Nol
05 Mei 2015. Apa kabar pendidikan di
negeriku tercinta? Dekat atau jauh, kita sebagai manusia Indonesia, tentu
selalu ingin mengetahui kabar terbaru pendidikan Indonesia. Zaman semakin
berpacu dengan teknologi, jarak semakin tak terasa, semua hanya lewat sentuhan
tangan di layar tak lebih dari 10 inchi. Kemudahan yang kita capai ini, adalah
buah manis dari pendidikan kan?
Di sudut lain, kualitas manusia Indonesia
sekarang pun merupakan hasil menawan dari pendidikan. Banyak manusia yang
bermunculan di berbagai pojok dunia Indonesia, tampil sebagai tokoh inspiratif,
motivator, guru berprestasi dan hal baik lainnya, dan tentu saja merupakan
indikator baik bagi pendidikan kita.
Di zona lain, wajah-wajah dari manusia
tak merasa pun, menguak, tampil eksis dengan beragam gaya. Sebut saja, tukang
begal yang tiba-tiba tersohor namanya, pelajar wanita dengan rokok di tangan
kiri, siswa sekolah di negeri kita dengan miras sebagai temannya, perzinahan
yang semakin tak tabu, pakaian mini yang lekat dengan remaji, dan manusia tak
merasa pun kerap duduk di kursi pemerintahan negeriku dengan merangkul negeriku
tapi menusuknya dari belakang. Oh, korupsi, engkau kemanakan hati para manusia
Indonesiaku?
Dari sekian banyak keburukan, tak
tertutupi dengan kebaikan yang hanya seperti nila setitik, rusak susu sebelanga.
Indonesia butuh berubah. Dan untuk
berubah, tentu saja bukan dari atas. Kita berubah dari titik dasar. Kita berubah
dari garis dimana segalanya start. Kita berubah mulai dari titik nol; dari
pendidikan rumah.
Ibu, adalah kunci dari sekian banyak
permasalahan kita. Ibu adalah tokoh yang lemah namun memampukan kita kokoh
berdiri dan membangun bangsa.
Saya menyeru kepada kaum perempuan, kaum
terbanyak di negeri ini, untuk belajar. Belajar membaca lebih, belajar menulis
lebih, dan belajar mendidik lebih baik lagi.
Untuk itu, saya berharap banyak,
pemerintah mau memberi ruang gerak kepada para ibu, untuk memberikan waktu
terbaik buat anaknya. Berikan para Ibu sedikit rukhsah (keringanan) di dalam
bekerja. Saya sempat membaca sebuah blog dari negeri Finlandia, yang ditulis oleh
seorang Ibu berdarah Indonesia di blog mamarantu. Tampak bahwa, semua anak
diberikan perlengkapan bayi oleh pemerintah secara gratis, kemudian, Ibu diberi
semacam cuti sampai usia emas anak lewat. Meskipun gaji kaum Ibu lebih sedikit,
tapi, bagi saya, waktu yang diberikan pemerintahnya untuk penerus bangsa dari setiap
Ibu lebih berharga dibanding gaji tinggi tapi mental anak tak terurusi.
Beragam kurikulum yang diuji cobakan, tak
akan lebih dari sekedar, bagus secara formalitas, tapi bukan mustahil
kerangkanya rapuh. Yang diubah adalah dasarnya. Yang diubah adalah individunya
dulu. Setelah itu, kurikulum berganti, kurikulum dikembangkan, ataupun
kurikulum direvisi, adalah hal yang tentu saja akan lebih gampang bila manusia
yang mau diajar sudah terbentuk bagus secara mental.
Jadi, bagi saya prbadi, apa yang sempat
didengungkan oleh situs Ayah Edy bahwa Indonesia Strong from Home adalah sebuah
realita yang seharusnya terjadi di seluruh rumah-rumah di Indonesia.
Sejak dahulu, pendidikan Ibu selalu
dijadikan patokan ketika melihat anak yang berhasil. Ketika ditemui seorang
anak penghapal Al-Qur’an yang disuruh kita untuk melihat bukan pada sifat
anaknya, tapi pada Ibunya yang mendidiknya. Ulama-ulama yang kemudian tersohor
namanya disepanjang sejarah, pun pula Ibunya yang dizoom. Bagaimana sang Ibu
mendidiknya.
Saya teringat sebuah kisah tentang Imam
As-Sudais yang ketika kecil bermain, kemudian begitu masuk rumah, dibuat
kotorlah makanan yang akan tersaji untuk tamu dengan debu di tangan mungilnya.
Anda tahu apa yang Ibunya katakan? Marah? Mungkin iya. Tapi tidaklah dia
berkata kecuali sebuah do’a yang kemudian berpuluh tahun kedepan terkabullah.
Ibunya berkata dengan nada mengandung
emosi (mungkin); “idzhab ja’alakallahu imaaman lilharamain,” (Pergi kamu…! Biar
kamu jadi imam di Haramain…!”)
That’s all.
Sudahkah kita memperbaiki buah hati kita
seperti itu?
Kalau jawabannya telah cukup ilmu kita,
mari bersama berpegangan tangan membangun Indonesia dari rumah.
Saya membayangkan, bagaimana bila seluruh
Ibu mampu membangun keluarga dengan baik, bukankah bila seluruh keluarga baik,
maka bangsa kita akan muncul lebih dari baik?
Maukah Indonesia sedikit mengintip dan
mengambil kebaikan dari pendidikan pertama yang seharusnya didapat seorang anak
cikal bakal penerus bangsa kita; Indonesia?
Untuk bangkit kita butuh bersama!!!
Wa Saripah
Guru MAN 1 Bombana
0 Comments