Allah berfirman:

وَإِذْ تَأَذَّنَ رَبُّكُمْ لَئِنْ شَكَرْتُمْ لَأَزِيدَنَّكُمْ وَلَئِنْ كَفَرْتُمْ إِنَّ عَذَابِي لَشَدِيدٌ
“Dan (ingatlah juga), tatkala Rabbmu memaklumkan; “Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari (nikmat-Ku), maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 7).

------------

Ingin beli kursi yang warna hitam. Bisa berputar. Tempat duduknya empuk. Mungkin harganya sekitar Rp. 500.000,-. Yah, bagi orang seperti saya, harga segitu, termasuk mahal kalau untuk sebuah kursi.

Menurunkan standar kebahagiaan adalah cara beberapa orang berbeda dalam menikmati hidup. Ketika sehat, kita memiliki beragam ingin yang hendak diraih. Ketika memiliki uang, kita mempunyai seikat angan untuk dibeli. Ketika muda, kita berlari mengejar mungkin lebih dari sebuah impian.

Selama perjalanan menggapai kebahagiaan, ada saja aral, kerikil, dan batuan terjal menghadang. Dan itulah saatnya menurunkan standar. Itulah saatnya mensyukuri yang ada. Saat sakit, awalnya saya beraktivitas layaknya orang lain. Segala hal yang ingin saya capai. Ingin menyelesaikan ini, ingin melakukan itu, ingin begini, ingin begitu. Ketika saya kesakitan duduk karena saraf yang bermasalah di bagian tulang ekor, disitulah saya berupaya mengganti level yang saya inginkan. Saya tidak memiliki keinginan yang begitu besar selain bisa duduk dengan nyaman, seperti dahulu kala.

Demikian sederhananya kebahagiaan saya saat ini. Bisa duduk dengan nyaman.
Tidak peduli dengan kursi model seperti apa. Tidak peduli dengan warna kursi yang bagaimana. Yang penting tidak sakit. Yah… level kebahagiaan bukan lagi pada warna, model, jenis dan bahan kursi. Level bahagia hanya duduk dengan nyaman. Tanpa sakit. Di dipan sekalipun. Meskipun di tempat duduk berbahan bambu. Kendatipun di tempat duduk berupa batu. Walaupun hanya dipotongan kayu dari pohon yang terletak di depan rumah.

Demikianlah ketika datang cobaan Allah. Kita meski melihat pada segala hal yang masih Alloh berikan. Dengan begitu, hati lebih lapang menerima. Apatah lagi, segala yang kita miliki, sejatinya bukanlah milik kita. Maka kenapa tidak kita syukuri saja meski sedikit?

Dari An Nu’man bin Basyir, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ لَمْ يَشْكُرِ الْقَلِيلَ لَمْ يَشْكُرِ الْكَثِيرَ
“Barang siapa yang tidak mensyukuri yang sedikit, maka ia tidak akan mampu mensyukuri sesuatu yang banyak.” (HR. Ahmad, 4/278. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan sebagaimana dalam As Silsilah Ash Shohihah no. 667)
Ditempa cobaan, berupa sakit, tentu saja tidaklah hanya diam menerima. Kita sebagai manusia, juga diperintahkan untuk berusaha. Saya pun demikian. Berusaha untuk sembuh. Berusaha untuk bisa lagi duduk dengan nyaman. Dan bukan berusaha membeli kursi yang kekinian.

Berbagai senam dan latihan lainnya, saya coba. Alhamdulillah. Meskipun belum total sehat. Saya mensyukuri perubahan yang ada. Karena hanya dengan ini, saya disebut bersyukur. Bukanlah kufur nikmat.

Nikmat Allah berupa kesehatan, sejatinya nikmat yang ketika kita miliki seolah tak terlihat besar. Memang, sejatinya, nikmat sehat adalah salah satu nikmat yang banyak dilalaikan.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنَ النَّاسِ ، الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

”Ada dua kenikmatan yang banyak manusia tertipu, yaitu nikmat sehat dan waktu senggang”. (HR. Bukhari no. 6412, dari Ibnu ‘Abbas)

Semoga dengan pengalaman ini, lebih banyak dari kita yang bersyukur bisa duduk dengan nyaman dimanapun posisinya.

Selesai.
Wa Saripah.

0 Comments