Kampung Halaman Sebenarnya
Bicara soal kampung halaman, para perantau pasti pernah merasakan ini. Rasa rindu yang membuncah. Ingin merasakan suasana rumah. Ingin menikmati hidangan mama lagi. Ingin bersua bersama saudara yang dulu kecil selalu bersama. Ingin menikmati jejak-jejak semasa kecil. Kali. Tanah lapang. Teman. Pohon. Buah. Juga suasananya.
Saya dulu pernah merantau. Tiga lebaran di tanah Jawa Timur. Dua idul fitri di Pulau Borneo bagian selatan. Lalu 5 tahun di Kendari. Dan 76 bulan di Bombana.
Saya lalu membawa barang-barang dari Bombana yang bisa saya bawa. Tidak semua item meskipun penting bisa kami bawa. Karena kapasitas kapal yang terbatas. Dan barang pecah belah lebih tinggi resiko pecah. Alhasil kami sumbangkan ke mesjid beserta beberapa barang yang mungkin bisa berguna.
Begitu tiba, kami mengatur sedemikian rupa setelah beberapa hari istrahat. Kami bisa membuat barang-barang kami diterima di kampung halaman kami.
Namun...
Bagaimana dengan kampung halaman yang abadi? Yaitu kampung bernama akhirot? Apakah bekal yang sudah kita siapkan?
Apakah bekal itu akan diterima? Apakah bekal itu sudah cukup untuk memasukkan kita ke kampung yang kita rindukan?
Sungguh mungkin ini yang perlu saya perbaiki. Ada berapa banyak waktu yang terbuang sia-sia dan akan saya sesali? Ada berapa lama aktivitasku bukanlah untuk akhiritku? Ada berapa tumpukan dosa yang saya buat detik demi detik?
0 Comments