19 September 2015. Tulisan ini awalnya saya publish di note fesbuk saya. Tetapi kemudian, saya berniat menyebarnya via blog ini dengan sedikit revisi di beberapa bagian. Tulisan ini semoga bisa memberi manfaat buat pembaca. Happy reading guys…
Banyak orang mengartikan hidup menurut versi mereka, dan menjalaninya meski kadang tak sesuai dengan segala bentuk kaidah matematika yang bisa saja tak dipahami. Hidup memang tak pernah bisa sempurna kita definisikan setiap jalurnya secara utuh. Tapi, saya punya sebuah episode yang patut untuk disimak untuk membantu menutupi celah jalan yang kita pilih untuk kita tapaki.

Suatu ketika saya iseng sms teman tentang sesuatu yang memang penting sebenarnya.
Saya tidak begitu ingat seperti apa saya meramu kalimatnya, dan bagaimana pola responnya. Intinya mungkin kira-kira bisa disimak pada penggalan dialog yang mungkin seperti ini (tentu saja, redaksi kata, keterangan dan rangkaiannya, murni dari saya, saya tak sedemikian hapal percakapan kami kala itu):


Me: bagaimn menurutx anti, jika ad seorg ikhwa (baca: laki2) yang bagus agamanya, hendak melamar namun kita mengetahui bahwa sahabat kita menaruh ingin padanya?

Saudara saya: saya akan memilih menerima laki-laki itu.

Me: alasannya?
Saudara saya: agama no 1. Saya hidup di dunia untuk memperbaiki agama, akhirot saya. Untuk surga. Saya memilih agama saya.
Me: meskipun tau sahabat menyukainya?
Saudara saya: iya. Meskipun demikian adanya.

Me: nanti gak enak sama dia…

Saudara saya: apa alasan saya menolak? Kalau alasannya bersifat keduniaan (baca: memikirkan perasaan orang lain, dan membinasakan diri sendiri dan atau memikirkan perasaan orang lain dan sama sekali tidak kuat hujjahnya berdasarkan Qur’an Hadits, intinya juga, mang si laki-laki hendak gitu sama dia kalau misalkan gak jadi? Kan ini gak diketahui. Yang pasti-pasti saja lah? Tapi intinya sih, karena agamanya. It is not about your friend’s feeling. But it is totally about you), maka saya mendahulukan akhirot. Selain itu, belum tentu, seumpama saya tolak, yang datang berikutnya, tidak bisa kita pastikan lebih baik daripada dia agamanya.


Nah ini baru BETUL. Sepakat.

Waktu itu, saya langsung sedikit kaget juga sih. Tapi, setelah saya pikir-pikir. Termasuk pikir lamaaaaaa. Dalam hening, dalam posisi focus, dan dalam lain-lain. Saya pikir, this is the truth lah.

Pesan moral: dalam setiap keputusan selalu ingat untuk mengambil yang lebih utama dari segi akhirot.

Jazakumullohu khoiro.
Wa Saripah 19 September 2015.
Raha

6 Comments

  1. Hm, memang sih, kalo memikirkan friend's feeling, akan memberi rasa tak enak di hati ya, Mba. Tapi ada baiknya jg jika disikapi dengan baik agar hubungan baik yg telah terjalin dg si teman tetap terpelihara, maksud juga tercapai. Memang tak gampang, sih. :)

    ReplyDelete
  2. iya betul mak. komunikasi dgn sahabat tetap harus tetap bagaimn pun jadi x tetap baik...

    ReplyDelete
  3. Wiiihh, tegasnya mi tu temanta.. siapa mi itu? Kereeen, bs setegas itu. Setujulah, yg penting agamanya..

    Btw, sekarang stay di Raha ya??

    ReplyDelete
  4. @Diah... iya say. betul2...
    yah, skrg di Raha mi... kendari masih kayak dulu kh? hehe

    ReplyDelete
  5. mbaak, it's happened to me, huee.. dan betul, seharusnya pilihan tidak memusingkan kita, tinggal tanya sama yang paling berhak sama diri kita soalnya (Allah) ;)

    ReplyDelete
  6. Iya mbak.... terkadang kita terasa sulit memilih. harus ad yg d prioritaskn

    ReplyDelete