Dia Meraung. Dia Pasti Bisa Tenang. Harapku.

Siang itu dia merajuk. Sudah sampai nangis. Muka mecucu.

"Maaf Nak. Nata de Coconya sore dimakan. Biar hilangnya dulu dinginnya."

"Dipanaskan Umi." Serangnya.

"Disini tidak ada alatnya Nak. Di rumah yang ada."

"Abi toh pulang ambil." Balasnya dengan jengkel.

Dalam hati sudah mulai bakar-bakar setannya. Saya tau saya bisa meredam panasnya. Saya mengatupkan mulut untuk menghindari ucapan kasar. Lalu menarik napas panjang pendek.

"Boleh ji Hafshoh makan itu. Tapi bukan sekarang. Sore. Bobo dulu."

Dià mendongkol.

Saya ke kamar mandi. Berwudhu.

Dia mengikuti sambil menangis.

Saya berpura-pura tenang.

"Sa berwudhu dulu. Hafshoh tunggu."

Ditempat tidur dia masih terisak. Saya menggendongnya. Dia pun ternyata sudah mereda. Emosinya mulai turun. Saya sholat bersamanya. Dalam gendongannya. Dia berlagak layaknya bayi. Berbicara lucu-lucuan.

Saya kemudian mengajaknya tidur siang.

Kami berdua sudah memadamkan kompor iblis yang sudah dinyalakannya.

Jazaakillahu khoiro melatihku bersabar Nak.

Nb: Ujian berikutnya, saya harus lebih bisa. Lebih cepat mendinginkan api.

Wa Saripah

0 Comments