Mahrom

Semangat Hafshoh ingin punya adek itu, binar. Semalam, setelah dia sholat isya (3 rokaat; menurut dia, ini sudah baik. Sebelumnya selalu 2. Saya biarkan dulu. Lagi proses healing Upin Ipin soalnya). Dia berdo'a.

H: Ya Alloh, berikanlah saya adik yang taat. Sehat jasmani dan rohani...

Trus saya gak dengar lagi lanjutannya.

Siang sebelumnya, dia sempat dialog.

H: Umi... Kalau adikku laki-laki, bagus. Tak payah nanti cari laki-laki kalau menikah.

Saya agak kaget. Sebenarnya. Sejak dulu dia suka tanya perihal diksi menikah ini. Kucing menikah juga? Kalau ini? Kalau itu?

Yah... Saya jawab tanpa membohonginya. Meski sejujurnya. Saya tidak begitu terbuka.

H: Memangnya menikah itu untuk apa?

Me: Menjaga diri. Saling bantu. Supaya ada anak.

H: Oh... Seperti kucing itu ada mi anaknya?

Me: Iya. Kucingnya kawin.

Setelah dia ungkap soal di paragraf ke-4 tulisan ini, saya jelaskan kalau adik kakak, tidak boleh menikah.

H: Kenapa?

Me: Mereka mahrom.

H: Mahrom? Apa itu?

Me: Harom dinikahi. Tidak boleh. Alloh melarang.

H: Saya belum mengerti Umi.

Me: Alloh sudah atur kita. Ada yang da larang. ada yang da suruh. Kalau Alloh larang, artinya ada keburukannya.

H: Jangan mi pale sa menikah. Sa jaga saja adeku.

Me: Hafshoh kan kakak masih kecil. Jaga adik dulu toh...

Dari raut wajahnya, dia tidak begitu puas dengan penjelasan saya. Saya juga masih mencari-cari diksi terbaik untuk menjelaskan.

Setelah itu, dia juga sempat tanya.

H: Umi... Kenapa waktu Umi masih sekolah, saya belum ada? Maunya toh... Sa ada mi... Supaya sa lihat Umi.

Me: Kan Umi belum menikah.

H: Oh... nanti menikah kah baru punya anak?

Saya mengangguk.

H: Nabi Isa kan yang Ibunya tidak menikah? Tidak ada bapaknya Nabi Isa?

Saya mengangguk. "Dia Nabi. Dia pilihan."

Materi berat. Tapi... Mari belajar menjelaskan.

Wa Saripah

0 Comments