Opa

Tiap daerah bahkan tiap orang, kadang punya panggilan berbeda untuk orang tua laki-laki. Ada yang menyebut Bapak. Ada yang memanggil Ayah. Ada yang lebih suka dengan sebutan Papa. Ada yang nyaman dengan memilih Abi. Banyak ya? Kalau saya, di keluarga kami, lebih dekat dengan sebutan Opa ketika panggilan langsung. Dan menggunakan kata Bapa (tanpa "k") untuk penggunaan tidak langsung. Namun, untuk kenyamanan pembaca, saya menggunakan "bapak" untuk penyebutan tak langsung dalam tulisan ini.

Ini tentang Bapak saya...

Saya sering melihat, teman saya yang begitu disayang dengan bapaknya. Dan, bapak saya tidak seromantis itu. Dia cukup kaku, keras, dan realistis.

Ketika kecil, saat melakukan kesalahan besar, saya dipukul sesakit mungkin. Saya ingat, itu terjadi hanya sekali. Dan saya akui, saya salah. Saat remaja, ternyata bapak berbeda. Dia hanya nasehat melalui ucapannya. Tidak lagi memukul. Kala itu, saya tau, umur dan pikiran bisa diajak komunikasi. Saat kau sudah mengerti baik dan buruk, tanggung jawab pada diri sendiri lebih dari penting.

Sejak kecil, kami tidak terbiasa dengan perayaan. Tidak ada momen gegap gempita ketika kami memiliki pencapaian cemerlang di dunia. Saya cukup terbiasa dengan juara kelas tanpa hadiah. Sementara teman saya, puas dengan sepeda baru ketika mendapat juara dua. Bapak hanya berucap alhamdulillah ketika saya juara 1. Dan selalu berujung dengan nasehat panjang lebar soal agama. Bahkan, ketika saya mewakili kabupaten untuk sebuah lomba, bapak melepas dengan tidak penuh hati. Belakangan saya sadar ketika memiliki Hafshoh, saya juga tidak ingin anak saya pergi jauh tanpa mahrom. Mungkin begini perasaan bapak padaku dulu.

Bapak saya seorang guru SD. Sewaktu SD, kalau saya ada masalah dengan pelajaran, bapak selalu memberi pencerahan. Beliau menguasai beberapa materi dengan sangat baik.

Bapak juga sering memeriksa pekerjaan rumah saya. Memberitahu kalau ada yang salah dan menjelaskannya biar saya mengulang langkah pengerjaannya. Biasanya PR Matematika.

Pernah suatu ketika ada PR Matematika.  Soalnya lumayan ribet. Saya pun meminta pencerahan ke bapak. Alhamdulillah bisa selesai. Setelah diperiksa guru, ternyata dia menyalahkan pekerjaan saya. Setìba di rumah, bapak menanyakan PR saya. Saya acuh tak acuh bilang salah jawaban yang kemarin. Bapak lalu meminta buku saya. Melihat pengeditan guru saya, bapak marah bukan main. Kata bapak, guru saya salah. Menurut saya, apa yang dikerjakan saya dan bapak kemarin, memang sudah benar. Memang guru saya yang keliru. Karena tidak sesuai dengan teori. Bapak saya pun bilang mau ke sekolah mengajar guru saya. Saya merasa kaget dan malu waktu itu. Saya bilang ke bapak; "Tidak usah. Saya tau bapak benar."

"Iya Nak, kamu tau. Tapi kasihan teman-temanmu."

Bapak tidak ingin teman-teman saya punya pemahaman yang salah tentang Matematika. Tetapi karena malu, saya membujuk bapak untuk tidak pergi.

Begitulah bapak. Dia mau menghadapi siapapun ketika orang itu kurang tepat bertindak. Siapapun dia, bahkan atasannya sekalipun.

Sejak kecil, bagi saya, bapak adalah role model. Bukan hanya karena beliau cerdas untuk materi dunia, tetapi juga tentang akhirot.

Menjelang remaja, bapak sering memanggil saya setelah sholat. Saya duduk sambil berkerudung. Beliau membacakan saya Surat Al Mukminun beberapa ayat pertama. Ayat itu menceritakan tentang siapa saja yang bisa masuk surga. Waktu itu saya hanya duduk tanpa begitu faham. Tak terasa, setelah sekian tahun, pengulangan bapak tentang ayat itu, menyimpan dan membebaskan memori yang baik di kehidupan saya ketika mendewasa.

Meskipun saya meremaja ribuan kilometer dari rumah, saya tidak pernah lupa, bagaimana bapak mengajarkan kami tentang dunia. Bapak ingin kami berpaham, akhirot adalah tujuan. Begitulah ketika dia begitu lapang, melepas saya ke Pulau Jawa. Ke sebuah pesantren. Saya hanya menjabat tangannya. Dan, bapak menasehatiku untuk mengingat selalu mati.

Saya bersyukur, biiznillah dengan didikan beliau, saya tidak silau dengan dunia. Bapak selalu saja yang dibawa mati bukanlah harta. Tetapi amal. Harta yang ditinggalkan hanya akan jadi rebutan mereka yang masih hidup. Baju yang banyak, akan kita tinggalkan. Sehingga saya tak heran, baju yang dimilikinya selagi masih layak, tidak dia tambah.

"Kalian ingat Pak Y?" Ucapnya suatu waktu. "Bajunya selemari. Saat dia meninggal, bahkan anaknya tak mau mewarisi baju bapaknya. Saya tidak mau seperti itu. Biarlah bajuku sedikit."

Pernah pula mama saya mengatakan ingin memperbaiki ini dan itu di rumah. Bapak hanya berkata; Saya sudah cukup seperti ini, kita ini ibadah saja Bu. Tinggal tunggu mati."

Demikian tentang bapak saya, maafkan bila ada yang kurang berkenan.

Semoga hati saya bisa seperti Bapak lebih condong ke akhirot. Mengingat silau dunia kuat menarik. Allohumma ya Muqollibal Qulub tsabbit Qolbii 'ala diinik

#RumbelMenulisIIP
#IIPSulawesi
#ChallengeApril
#Bapak

0 Comments