Trigger bulan ini di grup Be Molulo bersumber dari Ririn Syahriani. Tulisannya, bagi saya, inspiratif dengan cara tulis yang keren. Bisa di simak dimari Klik ini. Tentang bagaimana kita bangkit ketika sedang jatuh.

Saya sendiri, sedang mencari-cari, dimana episode kelam itu berada.  Untuk saat sekarang, saya belum ketemu. Saya sampai memprediksi, apa mungkin hidup saya yang menurut saya "flat" saja adalah karena memang flat?

Atau mungkin... Apa ini bentuk istidraj? Alloh memberi saya kesenangan tetapi sebenarnya menjebak hati saya?

Seperti yang disabdakan Rosululloh Shollallohu 'alaihi wasallan;

“Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah.”

(HR. Ahmad 4: 145. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa hadits ini hasan dilihat dari jalur lain).

Atau mungkin, saya yang terlalu santai menanggapi hidup? Karena cukup sering ketika saya bermasalah, saya berfikir, hanya mati yang memisahkan kita dengan masalah dunia. Dunia yang hanya sebentar. Layaknya kita di Bus dan menunggu turun di halte selanjutnya. Jadi... Berusahalah. Sabarlah. Begitu hati berbisik.

Entahlah... Yang jelas, saya seorang PNS, punya anak, punya suami, tetapi belum punya rumah. Dan mungkin ini bisa jadi masalah buat orang. Tetapi tidak bagi saya. Saya mengontrak dan merasa tidak memiliki rumah adalah "Kenapa harus stres?". Usaha ada, asal jangan riba. Saya anti dengan yang satu ini. Mengingat dampaknya bisa ke anak dan keluarga menurut agama.

Nah... Kalau belum memiliki rumah, bukan masalah apalagi kegagalan buat saya...

Terus...

Apa kira-kira kegagalan saya?

Kegagalan Apa yang Pernah Ada?

Kisah kelam saya apa?

Kegagalan saya apa?

Untuk urusan kuliah, ada juga masa saya menangis. Ketika Pak Pembimbing II saya menolak ketemu karena sibuk. Padahal, saya menanti untuk berani mengetuk pintunya sejak pagi. Bahkan mungkin sejak kemarin. Mungkin juga sejak minggu lalu. Pulang ke kos, saya menangis. Sekalikah ini terjadi? Tidak. Hampir setiap kali.

Hampir yang lain lagi adalah ketika hampir tidak lulus di ujian hasil. Namun Pembimbing II ku, yang terkenal obyektif, sempat memuji ketika saya berjuang di meja skripsi melawan dosen yang paling killer soal nilai. Saya belajar dari kekalahan yang hampir ada saat ujian hasil.

Namun... episode itu, tidak begitu hitam buat saya. "Mungkin ada yang lebih kelam dari itu." Pikirku.

Saya kemudian mencari-cari di memori otak. Sampai akhirnya...

Setelah saya list, ada 2 sesi hidup yang mungkin bisa mendekati menyedihkan. Meski secara diksi, episode itu lebih cocok disebut ujian hidup terberat. Karena mati sudah menjadi isi ketakutan saya waktu itu. Saya ingin memilih yang pertama. Saat tahun berputar pada 2003.

Mulanya di tahun 2002, saya sedang merantau di Kalimantan Selatan. Saya berbagi ilmu agama dengan mengajar anak-anak, remaja, dan ibu-ibu mengaji . Setelah setahun lebih 6 bulan, saya terkena hepatitis A di desa itu.

Disinilah ketakutan itu bermula. Awalnya, saya bertahan disana, namun karena kondisi yang tidak memungkinkan, saya memilih pulang. Rumah selalu menjadi tempat pulang paling nyamanku di dunia.

Selama perjalanan, saya sudah tidak sanggup. Saya seolah hanya memiliki setengah nafas. Kepala pening, nafas entah kenapa ngos-ngosan, badan lemas, dan berderet keluhan lain. 

Saya berjuang melewati jalur darat. Ganti mobil, menyebrang laut, naik mobil lagi, lalu naik kapal besar ke Bau-bau. Orang sakit dengan 1 travel bag. Yang berjalan saja sebenarnya sudah tidak mampu. Sungguh, mendorong dan mengangkat travel bag di beberapa titik saat di kapal laut adalah helaan nafas yang hilang. Mau memakai jasa pikul, uang hanya cukup untuk sampai di rumah.

Saya memang tidak mengabarkan kondisi real saya pada orang tua. Entah kenapa, saya tidak enak hati bila harus meminta asupan dana lebih pada mereka. Saya tidak tega. Sehingga, jika ditanya tentang keuangan. Meski tinggal beberapa ribu, saya akan bilang masih punya. Saya juga tidak ingin mereka kuatir. Toh, uang yang ada, saya bisa mencapai rumah.

Selama perjalanan, saya sedia sirup DHT yang saya tuang ke botol aqua. Sirup itu yang menyuntik energi yang hanya seberapa itu. Saya juga yakin, Alloh sebaik-baik tempat curhat. Tak hentinya saya berzikir dan berdoa. Berharap nyawa masih bisa berpihak dibadan.

Alhamdulillah... Saya berhasil sampai di rumah. Dan yang saya lakukan adalah berbaring dan mencoba mencari nafas yang seolah hampir beranjak.

Dokter Internist dan Perjuangan

Ketika pertama kali ke dokter, hasil darah untuk hepatitis saya cukup tinggi. Saya tau, mungkin ini efek beratnya perjalanan.

Setiap bulan setelahnya, bapak mengantar saya ke dokter. Dan setiap bulan juga, saya merasa tidak ada perubahan berarti, meski nilainya menurun.

Saya hanya terbaring di tempat tidur. Tanpa teman. Tidak ada hiburan. Terbaring dengan ketakuran. Takut mati.

Setiap berbaring, saya merasa malaikat maut berdiri di pintu kamar. Menatapku. Menunggu detik waktuku habis di dunia.

Saya bersyukur, ilmu agama yang ditanamkan orang tua, cukup membuat saya tetap mengingat Alloh. Tetap sholat. Dan... hanya itu yang saya lakukan. Saya bersabar. Kesedihan yang memeluk, masih ada celah untuk bersyukur.

Satu hal yang saya ingat, ada sebuah hadis tentang arahan untuk melihat orang yang dibawah. Agar kita tidak kufur nikmat.

Seperti yang disabdakan Rosulullah Shollallhohu 'alaihi wasallam;

“Pandanglah orang yang berada di bawahmu (dalam masalah harta dan dunia) dan janganlah engkau pandang orang yang berada di atasmu (dalam masalah ini). Dengan demikian,  hal itu akan membuatmu tidak meremehkan nikmat Allah padamu.” (HR. Bukhari dan Muslim)

Seperti itu yang saya terapkan. Saya berfikir, masih banyak orang sakit yang tidak memiliki rumah. Tidak bisa ke dokter. Tidak bisa mengkonsumsi bubur dan telur rebus setiap makan. Dan saya? Masih di rumah. Masih dengan bubur. Masih dengan dokter setiap bulan. Maka nikmat mana yang saya dustakan?

Selama 7 bulan saya terbaring. Berjalan susah. Membaca majalah usang menjadi aktifitasku selain berbaring. Sedih? Masih ada juga. Tetapi... Mengingat agama, saya mencoba tetap bersyukur.

Sejak terbaring, saya sering berhayal. Andaikan saya bisa berjalan lagi ke depan rumah. Andai saya bisa menyapu lagi. Andai saya bisa mencuci piring lagi. Andai... dan andai andai lain yang membuat saya sedih.

Sejujurnya, saat itu, karena merasakan tubuh yang begitu lemas, saya merasa sulit sembuh. Saya makan hanya untuk bisa bernafas esok. Saya pantang makanan larangan, hanya supaya bisa bangun esok.

Menuju Sembuh

Tujuh bulan saya mengkombinasikan berbagai ramuan dan obat dokter. Hasilnya? Cukup menguji sabar saya. Nihil. Masih jauh dari sembuh.

Bulan ketujuh, saya menemukan artikel tentang obat hepapatitis A. Dengan kelapa muda bakar yang diembunkan. Ditengah kesibukan yang padat, mama saya, menyempatkan diri membuatnya. Hari ke-14, saya stop. Saya ke dokter. Dan... Hasil darah saya normal.

Tubuh yang masih lemas, masih butuh recovery. Saya masih belum percaya saya sembuh. Sembuhkah saya?

Beberapa minggu setelahnya, saya diajak ke Kendari kuliah. Tahun itu 2004. Dua tahun setelah saya menganggur di sekolah formal.

Saya tes, dan saya mengikuti ujiannya dengan tanpa membaca soal. Kepala yang pening dan jalan sempoyongan, bukan pertanda baik untuk teliti membaca pertanyaan.

Hanya basmallah yang mengiring. Saya tidak berharap lulus dengan kondisi tubuh masih lemas. Ternyata... Saya lulus.

Perlahan saya bangkit. Meski jalan masih belum seimbang, saya bertahan. Mengikuti kuliah di tahun 2004, sambil menyediakan gabin di tas kuliah. Saya harus sering mengunyah. Mengingat lambung yang bisa terisi hanya sedikit demi sedikit.

Seiring waktu yang berputar, tubuh saya akhirnya lebih siap bertempur menghadapi masalah lain di bangku kuliah.

Sungguh, masalah yang saya temui ketika kuliah, tidak saya pandang dengan hati berat. Kecuali, sakit hepatitis dan hampir mati lebih berat dari itu. Mungkin saja, perbandingan penderitaan itu, yang membuat masalah lain sedikit ringan. Maka... pantaskah kau larut dalam keluhan Peh?

Saya tau, setiap orang punya masalah berbeda. Dari mereka juga saya belajar. Dari mereka juga saya mengambil hikmah. Terimakasih wa jazakumullohu khoiron...

Selesai.

4 Comments

  1. MasyaAllah, begitukah say??
    Alhamdulillah masih diberi kesembuhan, umur panjang hingga saat ini..

    sehat teru Peh.. *peluuuukkkk*

    ReplyDelete
  2. Aamiiiin...
    makasih doanya sayang...

    with luv

    ReplyDelete
  3. Alhamdulillah sdh sembuh
    Semoga selalu sehat

    Mamanya sabar sekali ya, terapi air kelapanya menyehatkan hati

    ReplyDelete
    Replies
    1. Ia mak...
      alhamdulillah
      makasih doanya mak...

      Delete